Rabu, 03 November 2010

Sang Juara

Rerimbunan pohon beringin tertiup angin sepoi-sepoi.. Di bawah pohon terdapat sepasang jiwa-jiwa yang letih yang terdengar hanyalah suara rerumputan bergoyang.
“Kringg…..kring…” handphoneku berdering.
“Baik simpai!” ucapku sambil beranjak pergi.
            “Pasti kamu mau meninggakan aku demi karate lagi. Kalau bagi kamu karate itu lebih penting dari aku! Pertunangan kita dibatalkan!” Desi mulai marah-marah.
 “Maafkan aku sayang. Karate is my life! Bila kamu tidak menerima kuduakan cintamu dengan Karate, ya sudah lah terserah apa mau mu. Yang jelas sebagai seorang juara sejati aku tidak akan pernah berhenti latihan karate!” Ucapku dengan emosi dan beranjak pergi dari taman kota .
 “Maafkan aku.. pulanglah naik busway. Aku tak bisa mengantarmu. Bisakah kau memberiku pinjaman uang untuk membeli bensin?”
“Daniel! Kau benar-benar keterlaluan!” desi memberi uang lalu berlari dengan berurai air mata mendekati bus yang baru datang.
“Dasar wanita zaman sekarang bisanya hanya menggerogoti laki-laki saja! Emansipasi wanita di agung-agungkan namun masih saja hidup bergantung laki-laki!
Bagaimana aku meninggalkan karate yang jelas-jelas merupakan impian dan karierku. Tinggal memenangkan beberapa kejuaraan lagi aku bisa mendapatkan sertifikat untuk menjadi pelatih karate profesional.”
            Sesampainya di tempat latihan karate yang berada di GOR Tangerang, Aku mulai latihan karate, kebetulan aku sedang menjadi panitia dalam penyeleksian anggota baru.
“Kak Daniel, boleh minta nomor handphonenya gak? Jadi nanti jika aku diterima disini, aku bisa menghubungi kakak untuk mengetahui jadwal latihan.” seru seorang gadis tiba-tiba mendekatiku.
“Baiklah ini nomornya,” balasku sambil memberikan sepotong kertas berisi nomor.
Setibanya di rumah aku langsung merebahkan diri di atas kasur kapuk yang terasa bagaikan springbed.
“Kring..kringg…”   bunyi panggilan masuk itu membangunkanku.
“Halo. Ini siapa?”
“Ini Melisa, yang minta nomor handphone kak Daniel tadi sore.” Samar-samar aku mengingat ada seorang gadis yang meminta nomor handphoneku ditempat latihan tadi.
“Oh, namamu Melisa. Maaf ya tadi sedang sibuk sekali bahkan tidak sempat berkenalan dengan wanita cantik sekalipun.” Sambil tertawa ringan.
“Kakak bisa saja. Aku jadi malu.”
Ada apa menelepon malam-malam begini? Apa tidak capek habis latihan?”
“Ingin memastikan ini benar nomor kak Daniel saja. Capek sekali, aku mau tidur. Selamat Malam!”
“Baiklah. Selamat Malam!”
*
Hampir sebulan setelah aku menjadi pengangguran padahal keluargaku sedang mengalami krisis ekonomi . Kedua adikku yang bersekolah memerlukan biaya untuk ujian. Ibuku yang hanyalah seorang penjahit rumahan sekarang ini sedang sepi pesanan. Semenjak ayahku meninggal akulah tulang punggung keluarga. Seandainya saja pernikahanku dan Desi telah berlangsung, mungkin kini aku tidak perlu khawatir karena biaya keluargaku teratasi oleh ayahnya. Pemasukan dari latihan karate sepertinya kurang mencukupi.
Aku tersadar dan hampir saja menabrak seorang gadis. Gadis itu terluka di bagian lututnya karena menghindari motorku. Saat itu jalan Imam Bonjol yang sepi menjadi ramai dengan orang-orang yang menghampiri kami. Wajahnya yang rupawan bergaya oriental, rambutnya yang ikal memanjang dan senyuman simpulnya yang manis walau ia sedang meringis.
“Sial!” umpatku. “Mengapa aku mencelakakan gadis secantik ini! Bagaimana kondisimu?” ucapku menghampirinya.
“Bawa ke dokter aja mas, sebelum ada polisi lewat!” ucap salah satu penjual makanan.
“ Tidak kenapa-kenapa kok.” Ucap gadis itu sambil tersenyum. Kucoba untuk meluruskan kakinya. “ Aduh, sakit sekali.” Rintihan wanita itu.”
“Apa kamu masih bisa jalan? Lebih baik kita ke rumah sakit.”
“Tidak perlu mas. Panggilkan saja becak untuk mengantarku pulang. Rumahku tidak jauh dari sini. Lagipula aku juga bersalah karena menyeberang tidak hati-hati”
“Aku juga bersalah karena melamun disaat mengendarai motor. Mari kuantarkan kau pulang kerumah”.
Gadis ini tinggal di Liga Mas. Rumahnya sederhana namun asri karena dikelilingi oleh pepohonan dan bunga yang indah.
“Rumahmu sangat nyaman sekali. Ingin sekali aku berlama-lama disini.”
“Rumahku yang nyaman atau karena pemilik rumahnya?”Ia tertawa kecil.
“Aku rasa keduanya benar. Sayangnya ini sudah sore dan aku harus bergegas pergi latihan karate.”
“Baiklah. Terima kasih telah mengantarku pulang dengan selamat.”
“Sama-sama, ini sudah merupakan kewajibanku yang sudah mencelakakanmu. Oh, aku lupa . Siapa namamu?”
“Namaku Nita.”
“Oke, namaku Daniel. Semoga kita bisa bertemu lagi. Bye!” ucapku sambil mengendarai motor pergi. Setelah sampai tempat latihan aku baru menyadari kebodohanku tidak menanyakan nomor handphonenya. Untung aku sudah tahu rumahnya.
*
            Sebulan lagi aku akan bertanding karate tingkat nasional. Aku harus dikarantina selama dua minggu untuk pelatihan intensif di kota Yogyakarta mulai besok. Ternyata Melisa pun terpilih untuk bertanding dalam tingkat KATA 1 (tingkat dasar ilmu karate) . Hampir setiap hari ia selalu mendekatiku dengan berbagai alasan. Akhirnya setelah seminggu kami dikarantina, ia mengajakku ke taman yang berada di villa tempat kami dikarantina disaat jam bebas sebelum tidur.
Ada apa Melisa? Kita hanya punya waktu bebas satu jam, setelah itu panitia akan datang untuk memeriksa ke setiap kamar. Gawat, jika ada panitia yang mengetahui kita ada di sini.”
“Aku tahu peraturan di sini tidak memperbolehkan pertemuan antara wanita dan laki-laki apalagi di malam hari seperti ini. Tapi ada yang harus kukatan sekarang juga, tak sanggup aku menunggu lagi.” Tatapan Melisa begitu sayu dan tubuhnya gemetaran.
“Katakanlah.” pintaku lembut.
“Selama ini aku memendam perasaan cintaku padamu. Maafkan atas kelancanganku ini. Maukan kakak berpacaran denganku? Aku mohon.”
“Baiklah, asalkan tidak boleh ada yang tahu bahwa kita pacaran. Aku ingin lebih fokus kita ke pertandingan. Pertandingan ini sudah di depan mata, semua ini sangat berharga bagiku. Inilah awal dari terwujudnya impianku.”
“Terima kasih.” Ia mengecup pipiku dan  lari ke arah kamarnya.
Aku termenung dibawah sinar bulan purnama di kota Yogyakarta. Bagaimana bisa aku menerima saja gadis kecil yang polos itu? Semoga kali ini aku tidak gagal lagi dalam berpacaran hanya karena waktuku yang lebih banyak untuk karate.
            Aku dan Melisa menjalani pelatihan seperti biasanya. Sering sekali ia meminta kepada panitia untuk dilatih olehku. Saat latihan bersamaku pipinya langsung merona  dan tampak menggodaku dan malam harinya kami diam-diam pergi berdua ke alun-alun kota Yogyakarta untuk melepas lelah dari kepenatan latihan. Mataku tertuju ke satu arah dimana aku melihat wanita berparas oriental yang tidak asing untukku. Ia sedang memilih baju batik di sebuah toko Keris. Aku menghampirinya disaat Melisa sedang sibuk belanja.
“Hai!” sambil menepuk pundak Nita perlahan.
“Hai, kamu yang waktu itu nabrak aku kan?”
“Iya, namaku Daniel. Sedang apa kamu di Yogyakarta?
“Kebetulan saudaraku ada yang menikah di Yogya. Kau sendiri?”
“Aku sedang mengikuti pelatihan karate untuk pertandingan tingkat Nasional disini.”
“Waah..hebat sekali,” penuh kekaguman.
“Hei sayang! Ternyata kamu ada disini, aku mencari-carimu dari tadi. Lihat, aku ukir gelang ini dengan nama kita berdua. Ada siapa ini, yang?” ucap Melisa.
“Ini Nita, temanku di Tangerang. Kebetulan bertemu disini karena saudaranya menikah di kota ini,” ucapku lembut.
“Ini pasti pacarnya Daniel. Senang berkenalan denganmu.”
“Senang berkenalan denganmu juga. Apa hubungan kalian sangat dekat?”bernada sinis.
“Tidak, kami baru kenal.” ucap nita penuh kesabaran.
“Ayo sayang kita pulang ke Villa, pasti yang lain sudah menunggu.” Melisa menarik tanganku untuk melangkah pergi dari toko.
“Sampai jumpa lagi Nita!” teriakku. “Apa-apan ini, sikapmu sungguh keterlaluan.”
“Aku cuma gak mau kalau kakak dekat-dekat dengan wanita itu. Sepertinya kakak suka padanya. Aku tidak ingin kehilangan kakak.” tegas Melisa.
  “Aah kamu ini! Begitu cemburunya, ini namanya sudah keterlaluan.”
             “ Maafkan aku, marilah kita pergi ke villa sebelum waktu kita habis.”
Kami berdua pulang menaiki becak yang banyak di alun-alun sambil menghirup udara bebas kota Yogyakarta, terlintas wajah rupawan Nita yang manis. Setiap kali bertemu denganya aku merasakan sesuatu yang berbeda. Setibanya di Villa kami pergi ke kamar masing-masing. Meskipun satu Villa tapi kami terpisahkan. Atlet perempuan di lantai dua sedangkan atlet pria dilantai satu, dekat tangga ada penjaga, atlet pria tidak boleh naik keatas. Hanya pada jam bebas dan latihan bersama kami dapat bertemu. Setiap malam sebelum tidur sekitar jam sembilan malam ada pengecekan ke setiap kamar untuk mengecek apa para atlet sudah tidur atau belum.
*

Aku sudah pulang ke Tangerang dan menjalani hidupku apa adanya tanpa memikirkan masalah. Hubungan ku dengan Melisa mulai merenggang setelah ia tenggelam dalam dunia sekolahnya karena sebentar lagi UAN. Hari ini aku ingin pergi ke mall untuk membeli sepatu bola yang akan kupakai saat pertandingan futsal di acara Banten Festival seminggu lagi. Sesampainya di mall ternyata aku melihat Melisa bersama seorang pria yang sebaya dengannya, mereka terlihat sangat mesra dan bahagia. Bahkan wajah Melisa terlihat merah padam saat tangan pria tersebut menyentuh pipinya. Rasanya emosiku meledak dan ingin sekali menendang pria itu. Aku mencoba mengirimkan sms kepada Melisa.
            “Yang, kamu lagi ngapain?”
            “ Aku lagi belajar buat ujian.” Balasan sms darinya. Aku hanya tersenyum kecut melihatnya.
            “Hah, belajar buat ujian kok sambil jalan-jalan di mall!” aku berjalan sambil terus mengoceh. Aku ingin lihat bagaimana kelakuan dia selanjutnya.
Sejak hari itu aku tidak memperdulikan Melisa lagi, malahan aku mencoba mendekati Nita sebagai balasannya. Mungkin kata orang ini pelarian tapi biarlah yang penting aku bahagia. Bahkan lebih bahagia daripada menghabiskan waktu dengan Melisa.
            Hampir seminggu sudah aku nge-date sama Nita, kami pergi nonton bareng dan dinner bersama. Ia pandai sekali membuat suasana lebih gembira. Melisa pun sudah mulai curiga dengan kelakuanku yang sangat dingin kepadanya. Kami selalu ribut setiap kali bertemu dengan permasalahan sepele.
“Kak Daniel kenapa tidak datang saat pesta ulang tahunku kemarin?” ucap Melisa saat aku mendatangi rumahnya.
            “Maaf, aku sedang sibuk karena banyak pekerjaan.” ucapku dengan ketus.
            Apa tidak bisa meluangkan waktu sebentar? Paling tidak hanya untuk memberi salam pada orang tuaku. Aku malu kepada tamu-tamuku yang harus lama-lama menunggu kakak yang ternyata tidak datang! Apa kakak tidak mencintaiku lagi?” kemarahan Melisa mulai membuatku mual karena sebelum hari ulang tahunnya aku mendengar dari temannya yang melihat Melisa berciuman dengan seorang pria, pria itu juga lah yang aku temui ketika menangkap basah Melisa berselingkuh di mall.
            “Sudahlah Mel, terserah apa katamu.” Tiba-tiba Nita menelepon namun tidak sempat ku angkat karena sudah diambil Melisa.
            “ Heh, wanita jalang! Ngapain telepon pacar orang?” teriak Melisa di handphoneku. Hampir dua menit ia memaki Nita habis-habisan hingga akhirnya aku bersyukur karena handphoneku mati karena habis baterai.
“Jadi karena wanita ini kakak tidak menginginkanku? Sudah berapa lama kalian selingkuh dibelakangku?” umpat Melisa. Aku nyaris saja menamparnya tapi aku langsung meredam amarahku dan langsung meninggalkan Melisa sendirian di rumahnya.
*
Sejak itu pula aku tidak pernah berhubungan lagi dengan Nita maupun Melisa. Aku tidak enak menghubungi Nita setelah kejadian pelabrakan itu. Tapi aku mencoba memberanikan diri untuk datang kerumahnya dalam tujuan meminta maaf.
            Ternyata Nita sudah memafkanku dan tidak mengambil pusing masalah tempo hari. Sikapnya pun masih hangat seperti yang dulu. Kuberanikan saja mengajaknya keluar untuk makan malam. Kami makan malam di restoran seafood yang berada di Cikokol. Tempatnya cukup romantis karena berada di sekitar danau buatan.
            “Nit, sejujurnya aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu. Hanya saja aku tidak berani untuk mendekati seorang putri sepertimu, sehingga akhirnya aku berpaling kepada Melisa. Tapi hati ini tidak dapat dibohongi karena hanya kau lah yang ada di hatiku. Kini aku menetapkan hatiku untuk memilih dirimu. Maukah kau menjadi pacarku setelah aku berhasil memutuskan hubunganku dengan Melisa?” ucapku sambil menggenggam kedua tanganya.
            “Apa kamu bilang? Setelah kamu putus dengan Melisa? Memangya aku ini ban serep yang bisa kau jadikan ganti setelah putus dengan Melisa. Aku memang mencintaimu tapi aku tidak ingin menjadi perusak hubungan kalian, apalagi pengakuanmu yang sangat merendahkan diriku.” Nita melepas tanganku dan lari sambil menangis hingga ke jalan raya.
            “Nita, dengerin aku dulu dong! Kamu mau kemana? Ayo kita ambil motor aku dulu.” Sambil berlari mengejar Nita. Dikejauhan kulihat sebuah mobil sedan sedang melaju cepat menuju Nita. Sepertinya sedan itu memang mengikutiku sejak aku menjemput Nita.
            “Nita, AWAS!!” Aku berlari kearah Nita dan mendorongya sekuat tenaga hingga akhirnya terjatuh ke tepian jalan. Kini aku yang berada ditengah jalan dan melihat pengendara sedan itu adalah seseorang yang kukenal. Ternyata dia adalah Melisa. Ia berusaha mengerem sekuat tenaga setelah melihatku yang ada di depan mobilnya namun sudah tidak sempat lagi. Terdengar jeritan Nita saat aku terlempar sejauh satu meter dan terjatuh. Semuanya kini terasa gelap, hampa dan hanya tinggal aku sendiri.


“TAMAT”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar